#Hentikan Eksploitasi Sumber Daya Alam Raja Ampat, Papua Bukan Tanah Kosong!!!!!! - HBB Jambi

Breaking

Home Top Ad

Responsive Ads Here

Monday, June 9, 2025

#Hentikan Eksploitasi Sumber Daya Alam Raja Ampat, Papua Bukan Tanah Kosong!!!!!!

 


TERUNGKAP Kontrak Karya Tambang Nikel Raja Ampat Diteken Tahun 1998: Mengesampingkan Hukum Lain

Perusahaan tambang yang beroperasi di Pulau Gag, Raja Ampat, adalah PT GAG Nikel. Perusahaan Itu pemegang Kontrak Karya Generasi VII No. B53/Pres/I/1998, yang diterbitkan 19 Januari 1998.

Mengutip dari tribunnews.com, perusahaan tambang yang beroperasi di Pulau Gag, Raja Ampat, adalah PT GAG Nikel. Perusahaan itu merupakan pemegang Kontrak Karya Generasi VII No. B53/Pres/I/1998, yang diterbitkan pada 19 Januari 1998 setelah ditandatangani oleh Presiden RI Soeharto.

Hal itu juga dibenarkan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, dalam konferensi pers di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta, Kamis (5/6/2025).

Oleh karena itu, Kemeneterian ESDM pun telah mengeluarkan keputusan penghentian sementara kegiatan operasional PT Gag Nikel tersebut. 

Bahlil menurunkan timnya untuk menginvestigasi. Ia menjelaskan pentingnya verifikasi langsung ke lapangan agar memahami kondisi sebenarnya, terkait maraknya pemberitaan yang beredar di publik. 

Dalam keterangannya, awalnya, struktur kepemilikan saham perusahaan ini terdiri dari Asia Pacific Nickel Pty. Ltd. (APN Pty. Ltd) sebesar 75 persen dan PT ANTAM Tbk sebesar 25 persen.

Namun sejak tahun 2008, PT ANTAM Tbk mengakuisisi seluruh saham APN Pty. Ltd., sehingga kendali penuh PT GAG Nikel berada di tangan ANTAM.
Kebijakan penambangan di hutan diberikan di era Megawati Soekarnoputri (istimewa)
Kebijakan penambangan di hutan lindung. (istimewa)

Kilas Balik Jejak Kebijakan Tambang

- Pada tahun 1998 di era Presiden Soeharto, Kontrak Karya PT Gag Nikel ditandatangani.

- Pada tahun 1999 di era Presiden Gus Dur, wilayah Pulau Gag ditetapkan sebagai hutan lindung, sehingga operasi tambang dihentikan.

- Pada tahun 2004 di era Presiden Megawati Soekarnoputri, mengeluarkan Kepres No 41/2004 yang memberikan dispensasi pada penambangan hutan lindung, termasuk PT Gag Nikel.

- Pada tahun 2004-2014 di era Presiden SBY, tidak ada peninjauan ulang atau pembatalan dispensasi. Artinya aktivitas penambangan di hutan lindung terus berlanjut.

- Pada tahun 2017 di era Presiden Joko Widodo, izin operasional PT Gag Nikel diterbitkan kembali  dan produksi mulai tahun 2018. Kemudian PT Kawei Sejahtera Mining beroperasi mulai Agustus 2023.

Hukum Kontrak Karya

Hukum kontrak karya berlaku sejak mulai ditandatanganinya perjanjian Kontrak Karya.

Kontrak Karya dapat mengesampingkan hukum lain, bahkan yang akan datang. 

Namun, pengesampingan ini harus tetap sesuai dengan hukum dan tidak bertentangan dengan ketertiban umum atau kesusilaan.

Pasal 1338 KUH Perdata mengatur bahwa semua perjanjian yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

Ini berarti para pihak memiliki kebebasan untuk menentukan isi dan bentuk perjanjian, termasuk mengatur hal-hal yang tidak diatur dalam undang-undang.

Perjanjian berkontrak memungkinkan para pihak untuk mengatur ketentuan yang berbeda dari hukum umum, termasuk ketentuan yang dapat mengesampingkan aturan hukum yang berlaku secara umum.

Namun, pengesampingan hukum lain dalam kontrak karya tidak boleh melanggar ketentuan hukum yang bersifat memaksa (imperative law), seperti yang mengatur tentang ketertiban umum, kesusilaan, atau undang-undang tertentu.

Dalam beberapa kasus, ketentuan dalam kontrak karya juga dapat mengesampingkan ketentuan hukum yang akan datang, jika ketentuan tersebut tidak bersifat memaksa dan tidak bertentangan dengan asas keadilan dan ketertiban umum.

Tapi, secara umum, hukum kontrak memberikan fleksibilitas bagi para pihak untuk mengatur hubungan mereka, namun fleksibilitas ini tidak boleh digunakan untuk melanggar hukum atau merugikan pihak lain.

Klaim Menteri ESDM Bahlil Lahadalia soal tambang nikel di Raja Ampat

Menteri ESDM Bahlil Lahadalia telah menjelaskan aktivitas pertambangan di Raja Ampat bukan dilakukan di Pulau Piaynemo yang menjadi salah satu ikon pariwisata.

Bahlil menuturkan, Raja Ampat terdiri dari beberapa pulau yang memiliki beragam fungsi, di mana sebagian besar merupakan kawasan hutan konversi dan pariwisata, tetapi terdapat pula kawasan pertambangan.

Wilayah pertambangan yang ada di Pulau Gag pun dipastikan jaraknya cukup jauh dari destinasi wisata Pulau Piaynemo, yakni 30-40 kilometer (km).

"Piaynemo itu pulau pariwisatanya Raja Ampat. Saya sering di Raja Ampat. Pulau Piaynemo dengan Pulau Gag itu kurang lebih sekitar 30 km sampai dengan 40 km," ujar Bahlil dalam konferensi pers di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta, Kamis (5/6/2025). 

Meski begitu, dia menyadari saat ini banyak sorotan terhadap aktivitas pertambangan di Raja Ampat yang menimbulkan kekhawatiran potensi kerusakan ekosistem wilayah tersebut.

Maka dari itu, Bahlil akan tetap melakukan verifikasi atas sejumlah foto yang banyak beredar di media, yang disebut-sebut menunjukkan dampak dari adanya tambang nikel di kawasan wisata Raja Ampat.

Terlebih, kata dia, sebagian gambar yang ditampilkan menyerupai pemandangan di Pulau Piaynemo yang menjadi destinasi wisata andalan Raja Ampat. 

Sehingga, diperlukan pengecekan oleh Kementerian ESDM untuk memastikan kebenarannya.

"Sekarang dengan kondisinya seperti ini kita harus crosscheck karena di beberapa media yang saya baca ada gambar yang diperlihatkan itu seperti di Pulau Piaynemo," ucapnya.

Bahlil pun menegaskan bahwa kawasan pariwisata Raja Ampat akan tetap dilindungi pemerintah. 

Hal ini menjadi komitmen pemerintah untuk menjaga kelestarian lingkungan dan mendukung sektor pariwisata di daerah tersebut. 

"Dan di wilayah Raja Ampat itu betul wilayah pariwisata yang kita harus lindungi,"ujarnya dikutip dari Kompas.com dari yang berjudul "Bahlil: Tambang Nikel Raja Ampat Jaraknya 30-40 KM dari Daerah Pariwisata".
Jatam Kritik Sikap Bahlil terhadap Nikel Raja Ampat

Di sisi lain, langkah Menteri ESDM Bahlil Lahadalia untuk menghentikan sementara aktivitas pertambangan nikel di Raja Ampat menuai kritik tajam dari Jaringan Advokasi Tambang (Jatam).

Menurut Jatam, kebijakan tersebut tidak menjawab substansi masalah, lantaran tidak diikuti dengan pencabutan Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang telah diterbitkan.

Koordinator Nasional Jatam, Melky Nahar, menegaskan bahwa pembekuan sementara ini hanya bersifat kosmetik dan tidak menjamin keberlanjutan perlindungan lingkungan Raja Ampat.

"Artinya, secara hukum, perusahaan tetap memiliki dasar untuk melanjutkan aktivitas di masa depan," kata Melky Nahar, Jumat (6/6/2025).

Menurut Melky, penundaan aktivitas tambang ini dinilai hanya bertujuan untuk meredakan reaksi publik yang memanas.

Kata dia tak ada jaminan bahwa aktivitas pertambangan akan dihentikan secara total setelah situasi mereda.

"Tidak ada jaminan bahwa setelah situasi mereda, aktivitas tidak akan dilanjutkan," ungkapnya.

Lebih lanjut, Jatam menganggap langkah pemerintah ini kontradiktif dengan komitmen lingkungan yang sering disuarakan Indonesia di kancah internasional terkait pembangunan berkelanjutan dan konservasi laut.

"Namun, tindakan seperti ini mencerminkan ketidaksesuaian antara narasi dan praktik," ujar Melky.

Oleh karena itu, Jatam mendesak agar penambangan di pulau-pulau kecil seperti Raja Ampat dihentikan secara permanen.

Karena itu Jatam meminta pemerintah harus mencabut izin tambang yang telah dikeluarkan di wilayah pulau kecil. Lalu, harus menyelaraskan kebijakan investasi dengan prinsip ekologi dan hukum lingkungan hidup.

Paling penting pemerintah diminta memprioritaskan pendekatan pembangunan yang berbasis konservasi, ekowisata, dan partisipasi masyarakat lokal. "Raja Ampat bukan hanya milik Indonesia, tapi warisan dunia yang keberadaannya harus dijaga untuk generasi mendatang," tegas Melky.

Jatam menekankan pentingnya menjaga kelestarian Raja Ampat sebagai aset global yang tak ternilai.

Greenpeace: Lebih dari 500 hektar hutan dan vegetasi alami habis dibabat

Sebelumnya, sejumlah aktivis Greenpeace Indonesia melakukan aksi protes dalam acara Indonesia Critical Minerals Conference and Expo di Hotel Pullman, Jakarta, pada Selasa (3/6/2025). 

Tiga aktivis Greenpeace bersama seorang perempuan asli asal Papua membentangkan spanduk saat Wakil Menteri Luar Negeri Arif Havas Oegroseno tengah menyampaikan sambutannya.

Mereka menyuarakan kekhawatiran terhadap dampak buruk aktivitas tambang nikel di Raja Ampat terhadap lingkungan dan kehidupan masyarakat setempat.

Greenpeace Indonesia menyebut, sejak tahun lalu, lembaganya menemukan pelanggaran aktivitas pertambangan di sejumlah pulau di Raja Ampat, seperti di Pulau Gag, Pulau Kawe, dan Pulau Manuran.

Berdasarkan analisis Greenpeace, eksploitasi nikel di tiga pulau itu membabat lebih dari 500 hektar hutan dan vegetasi alami khas. 

Selain itu, beberapa dokumentasi menunjukkan terjadinya limpasan tanah yang memicu sedimentasi di pesisir.

Akibat pembabatan hutan dan pengerukan tanah ratusan hektar itu berpotensi merusak karang dan ekosistem perairan Raja Ampat.
Aktivitas tambang nikel di Raja Ampat menjadi perhatian masyarakat Indonesia.
Aktivitas tambang nikel di Raja Ampat menjadi perhatian masyarakat Indonesia. (ISTIMEWA)

Profil Pemilik tambang nikel Raja Ampat

Berdasarkan data yang dirilis Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), ada empat perusahaan pemilik tambang nikel Raja Ampat dengan aktivitas operasi di Pulau Gag dan pulau-pulau di sekitarnya.  

Keempat perusahaan telah mengantongi izin usaha pertambangan atau IUP. Namun, hanya tiga perusahaan yang memiliki Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (PPKH).


Berikut profil keempat perusahaan tambang nikel di Raja Ampat.

1. PT Gag Nikel

Mengutip Harian Kompas, PT Gag Nikel adalah perusahaan pemegang kontrak karya sejak 1998.

Mulanya, saham PT Gag Nikel dimiliki oleh Asia Pacific Nickel Pty Ltd sebesar 75 persen dan PT Antam Tbk sebesar 25 persen.

Namun, sejak 2008, Antam mengakuisisi semua saham Asia Pacific Nickel Pty Ltd sehingga PT Gag Nikel sepenuhnya dikendalikan oleh Antam.

Berdasarkan informasi di laman Kementerian ESDM, kontrak karya PT Gag Nikel terdaftar di aplikasi Mineral One Data Indonesia (MODI) dengan nomor akta perizinan 430.K/30/DJB/2017.

Perusahaan itu memiliki luas wilayah izin pertambangan 13.136 hektar.

PT Gag Nikel mendapat izin produksi pada 2017, lalu mulai berproduksi pada 2018. 

2. PT Anugerah Surya Pratama

Pemilik tambang nikel Raja Ampat kedua adalah PT Anugerah Surya Pratama.

Perusahaan ini termasuk penanam modal asing (PMA), milik raksasa nikel asal China, Wanxiang Group.

Di Indonesia, induk dari PT Anugerah Surya Pratama adalah PT Wanxiang Nickel Indonesia.

Dilihat dari situs resmi perusahaan, PT Wanxiang Nickel Indonesia juga jadi salah satu perusahaan Tiongkok yang beroperasi di Morowali.

Bisnis inti perusahaan adalah tambang nikel dan peleburan Feronikel.

Area tambangnya juga terletak di Pulau Waigeo dan Manuran, Papua.

3. PT Mulia Raymond Perkasa

Sedikit informasi yang bisa digali dari PT Mulia Raymond Perkasa.

Namun, merujuk pada data KLH, perusahaan ini melakukan pertambangan di Pulau Batang Pele.

KLH tidak menyebut luasan aktivitas pertambangan PT Mulia Raymond Perkasa.

Dalam keterangan resminya, KLH menyatakan PT Mulia Raymond Perkasa ditemukan tidak memiliki dokumen lingkungan dan PPKH dalam aktivitasnya di Pulau Batang Pele. 

Seluruh kegiatan eksplorasi pun sudah dihentikan. 

Kantor perusahaan ini tercatat berada di The Boulevard Office, Jakarta Pusat.

4. PT Kawei Sejahtera Mining

Pemilik tambang nikel Raja Ampat keempat adalah PT Kawei Sejahtera Mining.

Sama halnya dengan PT Mulia Raymond Perkasa, tak banyak informasi yang bisa ditelusuri dari PT Kawei Sejahtera Mining.

Mengutip laman Kementerian ESDM, PT Kawei Sejahtera Mining adalah perusahaan tambang yang terdaftar di Direktorat Jenderal Minerba dengan izin usaha pertambangan (IUP) untuk operasi produksi bijih nikel.

IUP tersebut memiliki nomor 5922.00 dan valid hingga 26 Februari 2033.

Sementara KLH menyebut, PT Kawei Sejahtera Mining terbukti membuka tambang di luar izin lingkungan dan di luar kawasan PPKH seluas 5 hektar di Pulau Kawe.

Aktivitas PT Kawei Sejahtera Mining tersebut menyebabkan sedimentasi di pesisir pantai.

KLH memberikan sanksi administratif berupa pemulihan lingkungan, dan perusahaan terancam dikenakan pasal perdata.
Presiden Presiden Joko Widodo saat berkunjung ke Pulau Pianemo, Raja Ampat beberapa waktu lalu
Presiden Joko Widodo saat berkunjung ke Pulau Pianemo, Raja Ampat. (Dokumen Tim Komunikasi)

Greenpeace: Masih Ada 5 Izin Tambang Lain di Raja Ampat

Juru Kampanye Hutan Greenpeace, Iqbal Damanik mengkritisi keputusan Mineral ESDM Bahlil Lahadalia yang menghentikan sementara izin pertambangan nikel PT Gag di kawasan Raja Ampat, Papua Barat Daya.

Menurut Iqbal, penghentian sementara tersebut berpotensi menimbulkan kesimpangsiuran baru karena saat ini ada lima izin tambang nikel di Raja Ampat yang masih aktif.

"Saya ingin menyampaikan bahwa apa yang disampaikan Pak Menteri Bahlil, yang katanya mau membuat ketidak-simpangsiuran, itu memungkinkan untuk membuat kesimpangsiuran baru atau kekeliruan," ujar Iqbal dilansir tayangan Kompas Petang di Kompas TV, Jumat (6/6/2025). 

"Tak hanya satu, saat ini ada lima izin yang aktif, yang izinnya diterbitkan oleh Kementerian ESDM. Ada Pulau Gag, ada Pulau Kawe, Pulau Manuran, ada Pulau Batang Pele, dan ada di Waigeo Besar," lanjutnya.

Iqbal menuturkan, meski pemerintah menyebut lokasi tambang nikel cukup jauh dari lokasi wisata Raja Ampat, tetapi aturan resmi melarang adanya pertambangan di pulau-pulau kecil.

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pun menurutnya memperkuat larangan itu.

Aturan yang dimaksud merujuk Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP3K). 

Sementara itu, Putusan MK Nomor 35/PUU-XXI/2023 memperkuat aturan ini.

Di sisi lain, Iqbal mengungkapkan deforestasi di Raja Ampat mencapai 500 haktare.

"Ini angka yang besar lho untuk pulau-pulau kecil. Dan 500 hektare ini besar. (Sebanyak) 300 hektare sendiri itu (deforestasi) ada di Pulau Gag," ungkap Iqbal. 

"Bahkan kami melihat secara langsung, teman-teman scuba diving di sekitar Pulau Gag, itu sudah terlihat kehancuran terumbu karang di sana. Kita tahu bahwa 70 persen biodiversitas terumbu karang di dunia itu ada di Raja Ampat. Dan ini mau kita hancurkan?" lanjutnya. 

Sehingga Iqbal mendorong agar pemerintah, terutama Kementerian ESDM tidak lemah terhadap perusahaan BUMN yang memiliki izin tambang di Pulau Gag.

"PT Gag kan kita tahu ya, saham mayoritasnya dimiliki oleh PT Antam. Ini punya negara, punya BUMN. Kementerian ESDM yang mengeluarkan (izin), BUMN yang punya. Kenapa sih tidak bisa duduk bersama untuk membicarakan Pulau Gag. Jadi posisi pemerintah tidak boleh lemah," tambahnya.


Klaim Bahlil Hanya Satu Beroperasi

Sebelumnya, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia mengklaim tambang nikel di Raja Ampat, Papua Barat Daya, hanya beroperasi satu, yang dimiliki oleh PT Gag Nikel, anak usaha dari PT Aneka Tambang Tbk (Antam).

Ia menjelaskan, ada beberapa izin pertambangan di wilayah Raja Ampat, tetapi saat ini hanya satu yang beroperasi yakni Kontrak Karya (KK) yang dimiliki PT Gag Nikel. 

"Yang beroperasi sekarang itu hanya satu, yaitu PT Gag Nikel, ini yang punya adalah Antam, BUMN," ujar Bahlil dalam konferensi pers di Kementerian ESDM, Jakarta, Kamis (5/6/2025).

Dia menuturkan, PT Gag Nikel awalnya merupakan pemegang kontrak karya yang dimiliki oleh pihak asing pada periode 1997-1998. Ketika pihak asing itu berhenti mengelola tambang, kemudian diambil alih oleh negara.

Setelahnya, negara memberikan kontrak karya tersebut kepada PT Antam. BUMN sektor pertambangan ini pun mendelegasikan pengelolaan tambang ke anak perusahaannya, PT Gag Nikel. 

"Sekarang, tim kami sudah turun, mengecek. Agar tidak terjadi kesimpangsiuran, maka kami sudah memutuskan lewat Dirjen Minerba, untuk status daripada IUP PT Gag yang sekarang lagi mengelola, itu kan cuma satu ya. Itu untuk sementara kita hentikan operasinya," tutur Bahlil.

"Sampai dengan verifikasi lapangan. Kita akan cek, tetapi apa pun hasilnya nanti akan kami sampaikan setelah kroscek lapangan terjadi," tambahnya.

Polemik Tambang Nike Raja Ampat

Raja Ampat dikenal dengan laut dan alamnya yang indah bentang. Namun, beberapa hari belakangan, muncul polemik tambang nikel di sana. Tambang itu membuat resah, yang diperkirakan bisa merusak alam dan ekosistem di Raja Ampat. 

Di media sosial diramaikan dengan tagar #Save Raja Ampat. Keramaian ini menunjukkan penolakan terhadap tambang nikel yang berada di surga alam Papua tersebut.

Sebelum meluas ke media sosial, penolakan terhadap tambang ini juga sudah disampaikan oleh masyarakat adat setempat dan disuarakan aktivis lingkuhan hidup Greenpeace. 

Dalam pemberitaan Kompas.com, Jumat (6/6/2025), Menteri Pariwisata Widiyanti Putri Wardhana menyebut dalam kunjungan ke Raja Ampat Bersama DPR RI masyarakat adat menolak adanya tambang tersebut.

"Dalam kunjungan tersebut, masyarakat menyampaikan penolakan terhadap rencana pemberian izin pertambangan baru. Mereka menegaskan bahwa ekosistem dan identitas Raja Ampat yang harus dijaga sebagai kawasan wisata, bukan wilayah industri ekstraktif," ungkap Widiyanti.

Secara ekonomi, investasi tambang nikel memang menarik perhatian, terutama karena meningkatnya permintaan nikel untuk industri kendaraan listrik. Di sisi lain, ada lingkungan dan ekosistem yang harus dijaga. 

Iqbal Damanik dari Greenpeace menyebut sudah terlihat kehancuran terumbu karang di sekitar Pulau Gag. 

"Bahkan kami melihat secara langsung, teman-teman scuba diving di sekitar Pulau Gag, itu sudah terlihat kehancuran terumbu karang di sana. Kita tahu bahwa 70 persen biodiversitas terumbu karang di dunia itu ada di Raja Ampat. Dan ini mau kita hancurkan?" kata Iqbal. 

Sementara, Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) menyebut telah memberikan sanksi terhadap empat perusahaan nikel di Raja Ampat.

Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq mengatakan, keempat perusahaan terdiri dari PT Gag Nikel, PT Kawei Sejahtera Mining, PT Anugerah Surya Pratama, dan PT Mulia Raymond Perkasa. 

“Penambangan di pulau kecil adalah bentuk pengingkaran terhadap prinsip keadilan antargenerasi. KLH/BPLH tidak akan ragu mencabut izin jika terbukti merusak ekosistem yang tak tergantikan,” kata Hanif dalam keterangannya dikutip dari Kompas.com, Kamis (5/6/2025).

Hanif memaparkan, hasil pengawasan menunjukkan berbagai pelanggaran serius terhadap peraturan lingkungan hidup dan tata kelola pulau kecil.

Hanif menyatakan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-XXI/2023 memperkuat kebijakan pelarangan aktivitas tambang di wilayah pesisir dan pulau kecil. 

MK menegaskan, penambangan mineral di wilayah-wilayah tersebut dapat menimbulkan kerusakan yang tidak dapat dipulihkan, melanggar prinsip pencegahan bahaya lingkungan dan keadilan antargenerasi. (Berbagaisumber/AsenkLeeSaragih)
























 

Seruan Untuk Pemerintah Pusat Menggelegar Seantero Nusantara dan Dunia. #Hentikan Eksploitasi Sumber Daya Alam Raja Ampat, Papua Bukan Tanah Kosong!!!!!!(Berbagaisumber/AsenkLeeSaragih)



No comments:

Post a Comment